Breaking News:
|
Anda ingin beramal?, satu klik anda sangat berharga bagi kami, silakan klik iklanSittidibawah ini, setelah itu bagikan artikel ini, terimakasih kami ucapkan kepada anda

Kritik Ibnu Taimiyah Terhadap Filsafat Ibnu Rusyd. ( 2 )

Pokok Permasalahan.

1.      Mendamaikan Agama dan Filsafat.

Sudah menjadi tradisi oleh para Hukama (Filsuf Islam) bahwa disetiap kajian mereka selalu di barengi dengan perkawinan antara agama dan filsafat, ini menjadi penting buat mereka, karena selain mereka adalah Filsuf yang beragama, ini juga sebagai amunisi kepada mereka yang sering mendiskreditkan filsafat, menurut Muhammad Amin. bahwa hampir distiap hakikat kebenaran yang diraih oleh para Filsuf, bertujuan ingin membuktikan bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.[1]

Ibnu Rusyd sendiri mempunyai coretan kecil mengenai hubungan syariat dan hikmah, paling tidak ada dua buku beliau yang sangat fenomenal yang menyinggung masalah ini, seperti buku fasl maqal fima bainassyariah wal hikmah begitu juga bukunya manahij al adillah, didalam kedua buku ini Ibnu Rusyd membahas secara gamblang korelasi antara filsafat dan agama, bahwa keduanya saling berjalan secara bergandengan. Akan tetapi menurut Ibnu Taimiyah trik yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd ini adalah hal yang lucu,  karena jangankan untuk menyatukan keduannya (baca: filsafat dan agama) menyatukan antara pendapat mereka sendiri saja sangat kerepotan. Seperti yang telah diusahakan oleh Al farrabi ketika ingin menyatukan pendapat antara Plato dan Aristoteles didalam bukunya : al jamu baina ra'yul hukamain. Al farrabi terkesan sangat memaksakan, usaha al farrabi ini dimotivasi atas presepsi bahwa kebenaran itu Cuma satu dan para Filsuf tidak akan mungkin bertentangan[2]. Sementara perbedaan pendapat didalam filsafat itu adalah hal yang lumrah, karena didalam filsafat seseorang dituntut untuk berfikir secara bebas tanpa mengekor pada pendahulunya.

Selain itu Ibnu Taimiyah juga mengkritik pembagian cara berfikir manusia oleh Ibnu Rusyd menjadi tiga bagian, pertama:  metode orang awwam (khitabi), kedua cara berfikir dealektika ( jadaly/ Mutakallimin) kemudian ketiga cara berfikir Demonstratif (Burhani). Pembagian ini pada awalnya di prakarsai oleh Filsuf-Filsuf sebelum Ibnu Rusyd seperti Ibnu Sina Dll.[3] pembagian tabakat manusia menjadi tiga bagian ini menurut Ibnu Taimiyah sangatlah bertentangan dengan fitrah, bahkan bisa berakibat fatal bagi prinsip keyakinan seseorang, karena bila seseorang meyakini pembagian tabhakat ini lambat laun dia akan mensejajarkan para Filsuf dan nabi-nabi Utusan, bahkan bisa lebih dari itu. 

2.      Qidam Alam

Qidamul alam adalah masalah paling legendaries dan paling menggemparkan dunia teologi, hampir disetiap kajian filsafat dan kalam berbicara tentang masalah ini, Ibnu Taimiyah sekalipun berada pada kajian afiliasi yang berbeda namun merasa risih mendengar ocehan kedua kelompok yang terus menerus berkelahi yang tidak menemukan titik temu, hingga akhirnya iapun ikut nimbrung bergelut, memberikan solusi yang demostratif dan tidak membangkang dari jalur syariat.

Didalam keritiknya, Ibnu Taimiyah menganalisa bahwa ungkapan qidamul alam ( keazalian alam) dan hawadis la awwala laha (hal-hal baru yang azali) adalah dua ungkapan yang mujmal (global) yang masih mengandung ambiguitas makna. Keazalian alam dalam pengertian an-nawu' (azalinya jinsul alam/ bahwa tidak ada satu masapun dimana disitu tidak ada makhluk apapun sama sekali) tentu berbeda dengan keazalian alam dalam pengertian qidamul 'ain (azalinya entitas-entitas tertentu didalam alam).

Ungkapan hawadits la awwala laha dalam pengertian la awwala li jinsiha ( rangkaian kemunculan makhluk atau kejadian yang tak terputus) juga tentu berbeda dengan ungkapan serupa dengan pengertian  la awwala li 'ainiha (beberapa makhluk atau kejadian spesifik yang tidak pernah ada ). Kedua ungkapan ini memiliki kebenaran yang berbeda, jadi tidak bisa dipukul rata untuk sama-sama di mustahilkan kemungkinannya.

Pernyataaan pertama yang berarti " keazalian jenis alam" atau " ketidak-berhinggaan rangkaian penciptaan" jelas bukanlah sesuatu yang mustahil, sebab kapanpun sejak zaman azali sampai zaman abadi sang pencipta selalu ada, sehingga kemungkinan adanya ciptaan hasil kreasi-NYA juga selalu ada dan tidak pernah mustahil, jadi tidak ada batas awal atau batas akhir yang spesifik untuk memungkinkan adanya makhluk, sebab sebelum batas awal tadi dan setelah batas akhir itu, Allah sudah selalu mampu untuk menciptakan makhluk-makhluk jika dia mengkhendakinya.[4]

Ketidak jelian Filsuf dan mutakallimin dalam membedakan antara universal"Nau" dan spesifik "ain" inilah menurut Ibnu Taimiyah telah menyebabkan kedua macam doktrin yang mereka hasilkan sama-sama tidak valid dan mengandung kekeliruan konseptual. Filsuf menyatakan bahwa ada beberapa entitas spesifik dari alam ini yang tak berawal dan azali bersama Tuhan,, yaitu Akal sepuluh, nafs dan aflak[5]. Atau dalam bahasa Ibnu Rusyd dia adalah maujud yang tidak berasal dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman akan tetapi dia muncul dari sesuatu, eksistensinya hampir mirip dengan wujud yang qadim namun pada hakikatnya dia bukanlah qadim dan hakikat dia bukan pula baharu. Itulah Alam.[6]

Sementara itu di pihak lain dari kalangan mutakallimin yang diharap untuk menggempur serangan Filsuf golongan hitam malah tidak berdaya, bahkan jatuh pada dalil-dalil irasional dan shopis, kegagalan ini mengakibatkan kalangan Filsuf menjadi besar kepala dan berasumsi bahwa teori ( qidamul alam) yang mereka tawarkan memang betul-betul memuaskan seluru pihak.

Konsep mutakallimin tentang proses terjadinya alam sendiri banyak terpengaruh oleh kredo attarjih bila murajjah (perubahan tampa sebab) menurut mutakallimin bahwa sejak zaman azali sampai saat momen diciptakannya makluk yang pertama kali, Tuhan hanya sendirian dan tidak ada pernah makhluk ada yang di ciptakannya sama sekali. Aliran Muktazilah dan Karramiyah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen itu karena Tuhan" masih mustahil melakukan ciptaan ("mumtani'un alaih"). Sedangkan kalangan Kullabiah dan Asyairah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen tersebut adalah karena Iradah azaliah Tuhan masih mustahil mewujudkan hasilnya ("mumtani'un minhu"). Konsukwnsi logisnya bagi Muktazilah, Tuhan di zaman azali "belum mampu mencipta" dan tiba-tiba bisa mencipta pada saat penciptaan makhluk yang pertama. Sedangkan bagi Asyairah, di zaman azali Iradah Tuhan untuk mencipta belum bisa mewujudkan hasil ciptaannya dan tiba-tiba bisa mewujudkan hasilnya pada waktu penciptaan makhluk yang pertama. Absuriditas konsepsi Asyairah ini diakibatkan oleh presepsi aksiomatik mereka yang menyatakan bahwa iradah Allah untuk seluruh kejadian dan makhluk di sepanjang zaman adalah sidfat azali yang tunggal dan tidak terbilang. [7]

Kegamangan argumentasi mutakallimin ini sebenarnya memberikan celah yang cukup besar buat para Filsuf untuk menanamkan ideologinya pada ummat sekaligus memporak-porandakan benteng pertahanan mutakallimin, oleh karenanya  Ibnu Taimiyahpun berkata " fala Islama nasharuhu walal aduwwa kassaruhu" ( Islam tidak berhasil mereka bela, dan musuhpun tidak berhasil mereka kalahkan)[8]

Menurut Ibnu Taimiyah argumentasi yang cukup ampuh untuk melumpuhkan serangan fisafat adalah dengan metode Tuntunan Al quran, didalam Al quran menyatakan bahwa Allah Swt. Memiliki sifat " faalun lima yurid","al-kahalikul 'alim" dan " kullu yaumin huwa fi sya'n". ayat-ayat ini menandaskan bahwa secara azali dan abadi, Allah Swt adalah Tuhan yang maha pencipta dan tidak pernah tidak mampu ataupun tidak berhasil mewujudkan ciptaaannya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain " afaman yakhluk ka man la yakhluq? Afala yatazakkarun?"

Akan tetapi, satu-persatu dari masing-masing ciptaannya itu tentu saja memiliki titik awal untuk keberadaannya sebab ia tidak mungkin ada sebelum di kehendaki dan diciptakan oleh Allah, prespektif ini dinyatakan secara gambling oleh firmannya" innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu Kun fayakun". Jadi argumentasi kemungkinan adanya makhluk itu azali dan abadi,akan tetapi satu persatu dari makhluk-makhluk ini pastilah baharu dan pernah tidak ada. Konsepsi ini dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah sesuai dengan kredo para ulama salaf seperti Nu'man bin ahmad, ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Imam bukhari dan Addarimi; " lam yazal mutakalliman idza sya'a mata sya'a wa kayfa sya'a" dan " man lam yakun lahu fi'lun fahuwa mayyitun"[9]


Ditulis oleh: Ahwal Miswari



[1] DR Muhammad Kamal Ibrahim ja'far : Fi ffalsafatil Islamiyah  dirasah wannusus. Hal : 167
[2] DR soleh bin azamullah al ghamidi.: Mauqif syaikulIslam Ibnu Taimiyah min araai falasifah wa manhajihi wa ardihi. Hal 321
[3] DR. atthablawi Mahmud sa'd : Mauqif ibn taimiyah min falsafati ibn rusyd. Hal :  209
[4] Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 67
[5] Ibid.
[6] Ibnu Rusyd: faslul maqal. Hal 20
[7]  Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 68
[8]  Ibnu Taimiyah : Majmuatul fatawa jild 7 Hal 89.
[9] Jurnal Himmah. Vol I. Syaikul Islam dan ilmu kalam. Oleh nidlol masyhud. LC Hal 68

Posted by Pelatihan blog4 on 18.41. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added