Breaking News:

Iklan Melayang

Floatingbar atau kotak melayang bisa digunakan untuk memasang script iklan,menampilkan iklan,atau menampilkan pesan tertentu. Dalam contoh ini kita akan membuat kotak iklan melayang  di blog dengan dilengkapi tombol close agar memudahkan pengguna atau pengunjung blog menutup kotak tersebut.



Berikut ini adalah panduan blog membuat kotak iklan melayang.

Script ini bersumber dari dynamic drive float bar

Untuk membuatnya, lakukan prosedur berikut:

1. Login ke akun blogger

Pilih Tata letak - Edit html



cari kode

</head>

Sebelum kode </head>

 Masukkan kode CSS berikut :

<style type="text/css">

#topbar{

position:absolute;

border: 1px solid black;

padding: 2px;

background-color: lightyellow;

width: 620px;

visibility: hidden;

z-index: 100;

}

</style>

Simpan template

2. Pada elemen halaman pilih tambah gadget , pilih gadget HTML/Javasript


Masukkan kode berikut ke dalam gadget html/javascript

<script type="text/javascript">
/***********************************************

* Floating Top Bar script- © Dynamic Drive (www.dynamicdrive.com)

* Sliding routine by Roy Whittle (http://www.javascript-fx.com/)

* This notice must stay intact for legal use.

* Visit http://www.dynamicdrive.com/ for full source code

***********************************************/
var persistclose=0 //set to 0 or 1. 1 means once the bar is manually closed, it will remain closed for browser session

var startX = 30 //set x offset of bar in pixels

var startY = 5 //set y offset of bar in pixels

var verticalpos="fromtop" //enter "fromtop" or "frombottom"

function iecompattest(){

return (document.compatMode && document.compatMode!="BackCompat")? document.documentElement : document.body
}
function get_cookie(Name) {

var search = Name + "="

var returnvalue = "";

if (document.cookie.length > 0) {

offset = document.cookie.indexOf(search)

if (offset != -1) {

offset += search.length

end = document.cookie.indexOf(";", offset);

if (end == -1) end = document.cookie.length;

returnvalue=unescape(document.cookie.substring(offset, end))

}

}

return returnvalue;

}
function closebar(){

if (persistclose)

document.cookie="remainclosed=1"

document.getElementById("topbar").style.visibility="hidden"
}
function staticbar(){

barheight=document.getElementById("topbar").offsetHeight

var ns = (navigator.appName.indexOf("Netscape") != -1) || window.opera;

var d = document;

function ml(id){

var el=d.getElementById(id);

if (!persistclose || persistclose && get_cookie("remainclosed")=="")

el.style.visibility="visible"

if(d.layers)el.style=el;

el.sP=function(x,y){this.style.left=x+"px";this.style.top=y+"px";};

el.x = startX;

if (verticalpos=="fromtop")

el.y = startY;

else{

el.y = ns ? pageYOffset + innerHeight : iecompattest().scrollTop + iecompattest().clientHeight;

el.y -= startY;

}

return el;

}

window.stayTopLeft=function(){

if (verticalpos=="fromtop"){

var pY = ns ? pageYOffset : iecompattest().scrollTop;

ftlObj.y += (pY + startY - ftlObj.y)/8;

}

else{

var pY = ns ? pageYOffset + innerHeight - barheight: iecompattest().scrollTop + iecompattest().clientHeight - barheight;

ftlObj.y += (pY - startY - ftlObj.y)/8;

}

ftlObj.sP(ftlObj.x, ftlObj.y);

setTimeout("stayTopLeft()", 10);

}

ftlObj = ml("topbar");

stayTopLeft();

}
if (window.addEventListener)

window.addEventListener("load", staticbar, false)

else if (window.attachEvent)

window.attachEvent("onload", staticbar)

else if (document.getElementById)

window.onload=staticbar

</script>
<div id="topbar">

<a href="" onClick="closebar(); return false"><img src="http://i41.tinypic.com/5fofva.jpg" border="0" /></a>

Masukkan script iklan disini

</div>

catatan:

Dalam contoh ini saya memasukkan script ppc kumpul blogger

<div id="topbar">

<a href="" onClick="closebar(); return false"><img src="http://i41.tinypic.com/5fofva.jpg" border="0" /></a>

<script src="http://kumpulblogger.com/scahor.php?b=56386" type="text/javascript"></script>

</div>
Hasilnya bisa dilihat disini dummy blog

Catatan:
Agar tidak terlalu memberatkan blog sebaiknya gadget html diletakkan di bagian footer blog.
Muhammad Syafii Tampubolon | Buat Lencana Anda

04.38 | Posted in | Read More »

Beberapa situs yang sudah gulung tikar karna SATPOL PP FBI

Departemen Kehakiman Amerika Serikat dikabarkan sedang meneliti kemungkinan situs berbagi lain melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan Megaupload. Bisa saja, situs berbagi yang lain itu bakal bernasib sama.

Mengantisipasi hal itu, beberapa situs alternatif sudah mematikan layanan berbagi file mereka. Ini termasuk FileServe dan FileSonic.

Selain itu, dengan alasan sama, situs seperti Uploaded.to memblokir semua alamat internet protocol (IP) yang berbasis di Amerika Serikat.

Memang, seperti dikutip dari Venturebeat, masih sulit memperkirakan situs-situs berbagi mana yang bakal ditutup.

"Kasus Megaupload bisa menjadi preseden buruk untuk bisnis situs berbagi," kata Felix Wu, dari Cardozo School of Law, Universitas Yeshiva.

Meski belum ada kepastian, berikut 15 situs berbagi yang berpotensi menjadi target selanjutnya:

1. BayFiles

Situs yang berbasis di Hong Kong ini dibuat oleh dua pendiri The Pirate Bay. Dua minggu lalu, pihaknya mengumumkan akan menghentikan layanan karena kasus Megaupload kian memanas.

Memang situs ini secara resmi melarang pengunggahan konten yang merugikan hak cipta orang lain. Tapi di sisi lain, penggunananya untuk berbagi konten bajakan sangat mudah.

2. DepositFiles

Situs yang berbasis di Cyprus ini dapat mengunggah file hingga 300MB secara gratis tanpa pendaftaran. Jika daftar jadi anggota, pengguna bisa mengunggah file hingga 2GB secara gratis pula.

Situs ini juga menawarkan keanggotaan "Gold" yang memungkinkan pengguna bisa mengunduh file secara cepat dan tanpa iklan. Layanan premium ini mirip yang disediakan Megaupload.

3. Divx Stage

Situs ini secara terang-terangan menawarkan membayar 10 dollar AS untuk setiap pengunggahan 1.000 film. Pengguna boleh mengunggah file hingga 1GB.

4. HulkShare

Situs ini memungkinkan pengguna untuk mengunggah file lagu dan membiarkan orang lain bisa mendengarkan lagu dengan player yang disediakan khusus oleh HulkShare

5. MediaFire

Situs yang berbasis di Texas ini memungkinkan pengguna mengunggah file hingga 200MB tanpa daftar. MediaFire juga banyak dimanfaatkan penggunanya untuk berbagi file ilegal, meskipun dilarang oleh sang pengelola.

6. MegaShares

Situs ini memungkinkan pengguna mengunggah file hingga 10GB dan membayar pengguna sesuai jumlah unduhan pada file milik mereka.

Bagai multi level marketing, setiap unduhan premium berukuran minimal 5MB akan mendapat satu poin. Poin dapat ditukarkan dengan uang tunai jika mencapai jumlah tertentu.

7. NovaMov

Situs ini mirip dengan Divx Stage. Pengguna akan dihargai bila mampu mengunggah film hingga ukuran 2GB. Bayaran 10 dollar AS untuk setiap pengunggahan 1.000 film juga ditawarkan di sini.

8. OvFile

Dari sisi tampilan, situs ini nampak baik-baik saja. Namun kemudahannya sebagai "layanan penyimpanan video online" membuat situs ini bisa jadi target penyelidikan.

9. PutLocker

PutLocker memungkinkan pengguna mengunggah file hingga 1GB gratis dan dapat melakukan streaming video tanpa batas waktu. Pada 1 Februari nanti, situs ini akan menghentikan program afiliasinya yang memberi hadiah uang pada pengguna.

10. rapid*share

Situs yang berbasis di Swiss ini merupakan salah satu situs berbagi paling tua dan dikenal global. Situs ini pernah terjerat masalah hukum, namun tetap beroperasi dan melayani jutaan penggunanya.

Di situs ini juga tidak ada batasan unggah dan unduh file, tapi untuk bisa mengunduh file secara cepat harus melalui proses pendaftaran dan berbayar.

11. SockShare

Seperti PutLocker, SockShare juga akan menghentikan program afiliasinya. Di SockShare batas unggahnya adalah 1GB (gratis) dan 5GB (premium).

12. UpLoadHere

Situs ini menyediakan layanan mengunggah file hingga 2GB. Untuk mengunduh file di atas 1GB, pengguna harus membayar.

Biaya keanggotaan 8 dollar AS per bulan, atau lebih kurang sedikit bila membayar sekaligus untuk beberapa bulan.

13. UpLoadKing

Mirip seperti UpLoadHere, kecuali biaya yang lebih murah untuk layanan premiumnya. Pengguna gratisan hanya bisa mengunduh file di bawah 1GB dan tak boleh mengunduh lebih dari satu file secara bersamaan.

14. WUpload

Situs yang berbasis di Hongkong ini diperkirakan adalah situs berbagi kedua terbesar setelah Megaupload. Layanan gratisnya bisa dipakai untuk mengunduh hingga 2GB.

15. ZShare

Situs yang berbasis di Hongkong ini murni gratis dan mendapatkan penghasilan dari iklan. Pengguna dibatasinya hanya bisa mengunggah dan mengunduh file hingga 100MB.

ini semua berawal dari sebuah info dari status fb teman. begini beritanya:

Pada tanggal 24 Januari nanti, jika undang-undang yang bernama SOPA (Stop Online Piracy Act) dan PIPA (Protect IP Act) ini jadi di sahkan (sekarang masih dalam proses finalisasi). Maka kebiasaan berinternet akan berubah menjadi jauh berubah sangat drastis. Ini memang undang-undang Amerika Serikat, tetapi mereka adalah negara adidaya yang keputusannya sangat mempengaruhi seluruh dunia. Ratusan situs sudah melakukan blackout dan protes keras terhadap SOPA dan PIPA (Wikipedia, Wordpress, Reddit, Huffington Post, Google).
Kalau ini sah, maka yang akan terjadi adalah :
1. Tidak ada lagi Download Gratis Software, Film, Video, Musik, dan segala konten yang bersifat gratis karena semua telah dilindungi oleh HAKI yang berporos pada SOPA .
2. Tidak ada lagi Jejaring Sosial sebagai media berekspresi (Twitter, Facebook, Google+, Multiply, Yahoo, dll). Semua akan tumbang dan kita seperti kembali ke zaman tahun 70'an
3. Tidak ada lagi Jual Beli Bisnis Online yang mengatasnamakan kebebasan berkekspresi di dunia maya dan mendapatkan reward atas hasilnya.
Google, Wikipedia, Wordpress disini merupakan situs besar sebagai wakil dari kita semua untuk melakukan voting untuk STOP SOPA dan PIPA. Untuk berkampanye dan menyuarakan aspirasi.
Jadi, tolong berikanlah suara untuk kebebasan kita, satu suara sangat berguna...!!!
Ayo mari kita Dukung Google dalam petisi tolak SOPA dan PIPA...!!!
Klik link di bawah ini :
https://www.google.com/landing/takeaction/sopa-pipa/
More about SOPA and PIPA – End Piracy, Not Liberty – Google
www.google.com


Akhirnya aku kehilangan file2ku yang kusimpan di megaupload.com.

Puluhan polisi dengan persenjataan berat dan helikopter menyerbu Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz di Auckland, Selandia Baru. Warga negara Jerman berusia 38 tahun tersebut dikenai tuduhan konspirasi melakukan pelanggaran hak cipta, pencucian uang dan persekongkolan. Di Selandia Baru, polisi menyita sekitar 18 kendaraan mewah senilai sekitar Rp42 miliar. Polisi juga menyita perangkat elektronik dan uang sekitar Rp72 miliar dari akun bank di negara tersebut.

Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru, terlihat dari ketinggian


Salah satu sudut Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru,


Seorang petugas keamanan berpatroli di sekitar Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru

Bendera Finlandia berkibar di Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru

Pesawat interkom yang rusak saat penggerebekan terlihat di depan Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland

Patung jerapah terlihat di halaman Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru

Pintu masuk Dotcom Mansion, kediaman pendiri MegaUpload, Kim ‘Dotcom’ Schmitz, di Auckland, Selandia Baru

























Muhammad Syafii Tampubolon | Buat Lencana Anda

12.27 | Posted in | Read More »

KONSEPSI AKAL DAN WAHYU

Dua hal di atas adalah bekal pokok dalam mendalami masalah seputar ketuhanan dan perilaku manusia sebagai makhluk yang beradab dan berkeyakinan. Akal merupakan perangkat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Meskipun Malaikat diberi akal oleh Tuhan, namun derajatnya masih di bawah manusia, jika manusia dapat menggunakan akalnya sesuai dengan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika manusia menduduki derajat tertinggi di sisi Tuhan. Menurut al-Jurjani (w. 793 H), akal merupakan perangkat yang berdiri sendiri dari susunan organ tubuh, namun menjadi kreator penggerak dan operator organ lain[1]. Ada yang mengatakan akal merupakan cahaya dalam hati yang berfungsi untuk memilah antara baik dan buruk. Dari dua pengertian ini, dapat diambil konglusi bahwa terlepas dari bentuk wujudnya, peran akal memang sangatlah penting bagi perjalanan kehidupan manusia.

Sedangkan wahyu adalah informasi yang diberikan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam, tentang yang dikehendaki-Nya, baik berupa perintah dan larangan syara’ ataupun berita sepanjang masa. Ada tiga cara Tuhan dalam penyampaian wahyu ini; melalui ilham, belakang hijab, dan perantara Malaikat. Wahyu ini terkhusus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam. Hal inilah yang membedakannya dengan ilham. Satu segi wahyu lebih spesifik daripada ilham, karena hanya disampaikan kepada para utusan-Nya. Namun dari segi lain sebaliknya, karena ilham hanya disampaikan dalam keadaan samar dan spontan.


Dalam ranah teologi yang memang berkisar seputar ketuhanan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya, pasti akan menyinggung diskursus mengenai akal dan wahyu. Keduanya dianggap mempunyai andil dalam pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Akal sebagai daya nalar yang terdapat dalam diri manusia berusaha keras untuk dapat “mencapai” Tuhan[2]. Sedangkan wahyu diberikan sebagai informasi Tuhan melalui media yang dinamakan Rasul untuk diketahui dan dilakukan menurut kandungan informasi tersebut.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah seberapa besar potensi akal dan fungsi wahyu untuk dapat mengetahui dan menentukan sikap atas Tuhan. Dapat mengetahui Tuhan berarti manusia mengetahui bahwa Tuhan itu ada sebagai sang Pencipta yang kemudian muncul konsekwensi bahwa manusia wajib mengetahui Tuhan itu ada. Sedangkan menentukan sikap atas Tuhan berarti manusia harus mengetahui perihal baik dan buruk yang merupakan pilihan untuk dilaksanakan dan ditinggalkan sebagai wujud rasa terima kasih dan pengabdian kepada-Nya.

Perbedaaan porsi antara peran akal dan wahyu inilah yang menjadi tarik ulur di kalangan teolog Islam. Satu kalangan menyatakan bahwa peran akal yang paling dominan menanggapi hal-hal di atas. Sedangkan kalangan lain menyatakan sebaliknya. Namun demikian semua kalangan satu suara dalam memahami adanya Tuhan dapat dijangkau akal manusia tanpa bantuan wahyu. Hal ini terbukti pada kisah nabi Ibrahim A.S yang berusaha dengan akalnya untuk mencari tahu siapa Tuhan yang sebenarnya. Sebelum berpikir seperti ini, pasti Nabi Ibrahim A.S mengetahui dan yakin dengan adanya Tuhan yang menciptakannya hanya dengan akalnya. Mungkin juga awal proses pemikiran tersebut berasal dari kondisi religius pada saat itu, dimana mayoritas masyarakatnya menyembah berhala, sehingga menimbulkan gejolak keraguan dalam pikiran dan jiwanya. Akhirnya dimulailah pengembaraan dalam akalnya untuk mengetahui Tuhan yang sebenarnya. Dan jelaslah proses ini sama sekali tidak memerlukan bantuan wahyu.

Selanjutnya, apakah perbuatan baik dan buruk cukup dijangkau akal saja sehingga sesuatu yang menurut akal baik atau buruk, manusia harus mengambil sikap dengan melaksanakan dan meninggalkannya, meskipun belum terdapat ketentuan syara’ yang menjustifikasi sesuatu itu? Dan jika manusia dituntut demikian, akankah mendapatkan imbalan atau siksaan sebagai balasan terhadap perbuatannya sebelum turun wahyu atasnya? Ataukah tidak ada jalan lain selain menunggu pertolongan wahyu, dan dengan demikian sesuatu yang diperintahkan syara’ adalah baik dan yang dilarangnya adalah buruk, serta tidak ada balasan apapun sebelum adanya utusan? Serta yang terpenting, kewajiban mengetahui Tuhan cukup dengan nalar logika ataukah juga dengan bantuan wahyu? Sederet jawaban atas beberapa pertanyaan di atas yang diperbincangkan kalangan teolog Islam sebagai dampak tarik ulur dua hal yang mendasar yang menjadi sumbernya, yaitu akal manusia dan wahyu Tuhan.

Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, menurut Mu’tazilah[1] dapat diperoleh dengan penalaran yang mendalam. Jika demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum adanya utusan adalah wajib. Dan jika manusia tidak berterima kasih kepada-Nya, maka akan mendapat hukuman[2]. Konsep dasar pendapat ini sebagaimana dipaparkan Abdul Jabbar, bahwa kewajiban pertama manusia berpikir untuk mencapai pengetahuan tentang adanya Tuhan, karena keberadaan Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan penglihatan nyata, melainkan dengan jalan berpikir dan bernalar[3]. Bahkan al-Murdar (w. 226 H)[4], salah satu pakar Mu’tazilah menyatakan bahwa termasuk yang dapat dinalar akal adalah kewajiban mengetahui sifat-sifat dan hukum-hukum Tuhan, meskipun belum ada wahyu mengenai hal itu.

Paham yang sama juga dianut sebagian kalangan Maturidiyyah[1], yaitu mereka yang menetap di Samarkand. Mereka memaparkan akal dapat menjangkau kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Agaknya, al-Maturidi juga berkeyakinan seperti itu. Menurutnya, akal seorang anak yang telah mencapai kematangan wajib mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan tanpa menunggu adanya wahyu. Oleh karena itu, jika dia mati sebelum mengetahui Tuhan, maka akan mendapatkan siksaan[2]. Namun di luar itu, kalangan Maturidiyyah Bukhara[3] berpendapat sebaliknya. Kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Bagi mereka, akal hanya alat untuk mengetahui hukum. Dan yang menentukan hukum segala sesuatu adalah Tuhan, termasuk hukum wajib mengetahui-Nya, karena Dia bertindak sebagai al-Hakim bagi makhluk-Nya. Sedangkan proses penentuan suatu hukum dari Tuhan hanya dapat diraba melalui wahyu.

Agaknya paham Maturidiyyah Bukhara ini sesuai dengan satu segi dari tindakan Nabi Muhammad SAW. Dalam memutuskan perkara yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya, beliau memilih diam tanpa memberi komentar atas perkara itu. Diam yang dilakukan Nabi SAW ini semata hanya menunggu datangnya Jibril A.S yang membawa wahyu terkait dengan perkara yang sedang dihadapi. Jika saja akal dapat menentukan kejelasan hukum itu, niscaya akal Nabi SAW lebih berhak dan lebih mampu untuk melakukannya. Namun, tidak demikian yang dilakukan beliau. Artinya, ada satu titik temu antara tindakan Nabi SAW dan paham Maturidiyyah Bukhara di atas, yaitu hanya wahyu yang dapat menentukan kejelasan hukum suatu masalah, bukanlah akal yang hanya berfungsi sebagai pencerna hukum yang diusung wahyu. Jika akal dipaksa untuk menelurkan suatu hukum, maka tidak akan mampu karena bukan kapasitasnya untuk itu. Satu-satunya pembuat hukum adalah Tuhan, dan disampaikan manusia melalui wahyu.

Asya’irah[4] juga mengatakan demikian. Mereka tidak sepaham dengan Mu’tazilah ataupu Maturidiyyah Smarkand. Al-Asy’ari sendiri berpendapat bahwa kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban ataupun larangan bagi manusia, karena status mereka bukanlah mukallaf. Dan jika ada seseorang yang dapat mengetahuinya sebelum wahyu ada, maka orang tersebut berstatus mukmin, namun tidak berhak mendapatkan imbalan Tuhan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tidak beriman sebelum adanya wahyu, maka orang tersebut belum tentu mendapatkan siksaan. Hal ini semata-mata Tuhan berkuasa mutlak atas selain-Nya, sehingga tidak ada yang dapat mengatur dan mengekang-Nya.

Perihal baik dan buruk juga mendapat sorotan tajam dari ketiga kalangan teolog ini. Dalam satu segi mereka memaparkan kesepakatan. Namun dalam segi lainnya, mereka mempertentangkannya. Mereka sepaham bahwa akal dapat memilah antara baik dan buruk dalam dua hal. Pertama, sesuatu dianggap baik jika sesuai dengan watak manusiawi, seperti: rasa manis, suara yang merdu, rupawan, sehat, dan hal-hal lain yang dapat membuat perasaan menjadi bahagia. Sebaliknya, dikatakan buruk jika tidak sesuai dengan watak, seperti: rasa pahit, muka jelek, sakit, suara gaduh, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu ketenangan dan kesenangan jiwa. Kedua, baik adalah segala hal yang dikaitkan dan dilekatkan kepada sifat kamaliyyah, seperti pandai dan jujur. Sedangkan buruk adalah hal yang bersandar pada sifat cacat dan kurang, seperti bodoh dan pendusta[1].

Adapun pangkal perbedaan berawal dari pengertian baik adalah segala sesuatu yang menuai pujian bagi pelakunya di dunia dan mendapatkan imbalan di akhirat. Dan buruk adalah segala sesuatu yang menyebabkan pelakunya dicela di dunia dan disiksa di akhirat kelak[2]. Dari sini timbul silang pendapat. Apakah akal mampu menalar baik dan buruk sesuai dengan pengertian ini? Ataukah wahyu yang berperan penting dan dominan dalam hal ini?

Menurut Asya’irah, perihal baik dan buruk hanya dapat ditentukan oleh syara’ sehingga segala sesuatu yang diperintahkannya pasti baik. Begitu juga segala hal yang dilarang syara’ dinyatakan buruk. Lebih lanjut, meskipun kemudian syara’ memerintahkan keburukan, maka keburukan itu tetap dinilai baik. Hal ini sebagaimana dilegalkannya qishash dan ‘uqubah. Artinya, meskipun mengandung unsur mafsadah, keduanya dinilai baik karena pada dasarnya mafsadah yang ditimbulkan hanya berskala kecil, dan tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya mafsadah yang berskala lebih besar, yakni tidak ada sanksi tegas bagi pembunuh yang akhirnya memberi peluang untuk mengulangi perbuatannya.

Ataupun jika syara’ melarang kebaikan, maka kebaikan itu tetap dinyatakan keburukan. Satu contoh kecil adalah larangan mengawini musyrik atau musyrikah. Bukankah perkawinan itu baik? Dengan perkawinan dapat memberikan keturunan. Dengan perkawinan pula dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama. Kedua hal itu termasuk sisi positif adanya perkawinan. Namun ternyata hal itu dilarang syara’ jika salah satu dari kedua mempelai berstatus syirik. Akhirnya perkawinan semacam inipun harus dianggap buruk, karena perkawinan ini ditengarai akan membawa madlarat bagi pelakunya. Oleh sebab itu syara’ menetapkan keburukannya.

Memang, mayoritas informasi syara’ hanya mencantumkan perintah dan larangan. Namun jika ditelaah lebih dalam, akan ditemukan dengan sendirinya bahwa segala hal yang diperintahkan itu berlabelkan baik. Begitu juga segala hal yang dilarang mempunyai label buruk. Karena tidaklah mungkin syara’ akan menyesatkan manusia.

Dan adanya informasi ini tidak lain bermula dari wahyu yang disampaikan kepada para Nabi –‘alaihim al-salam. Atas dasar inilah, Asya’irah berpendapat bahwa pemilahan baik ataupun buruk dan kewajiban melakukan kebaikan ataupun keburukan hanya didapatkan dari wahyu tanpa mengandalkan proses penalaran akal. Dan karena ini, jika wahyu belum turun atas manusia, maka dia tidak dituntut melakukan dan meninggalkan sesuatu, meskipun akalnya dapat memilah baik dan buruk. Karena sebagaimana di atas, bukan kapasitas akal untuk menentukan hukum-hukum Tuhan atas perbuatan manusia.

Menanggapi persoalan baik dan buruk, secara umum Maturidiyyah sepaham dengan Mu’tazilah yang menganggap keduanya dapat dijangkau akal. Artinya, tanpa menunggu turunnya wahyu, akal dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi suatu perbuatan sehingga dapat diketahui label perbuatan itu. Namun, apa yang disebut baik dan buruk menurut Maturidiyyah ini lebih luas daripada yang dipahami oleh Mu’tazilah. Menurut Maturidiyyah, terkadang baik dan buruk dapat dilihat dari hakikat dan inti perbuatan itu, terkadang dapat dilihat pula dari sifat dasarnya, ataupun dari faktor-faktor eksternal.

Hal itu menurut mereka sangatlah sederhana. Jika perbuatan itu baik, maka untuk dikerjakan. Dan jika perbuatan itu buruk, maka untuk ditinggalkan. Al-Maturidi memaparkan bahwa akal mengetahui sifat baik dalam yang baik dan mengetahui sifat buruk dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga memahami berbuat baik itu baik dan berbuat buruk itu buruk. Dan akal selanjutnya memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan[1]. Hal ini juga dipahami oleh Hanafiyyah[2].

Argumen yang ditampilkan Maturidiyyah untuk menguatkan pendapatnya adalah apabila baik dan buruk tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’, maka pada hakikatnya antara shalat dan zina adalah sama. Oleh karena itu, jika dijustifikasi salah satunya sebagai kewajiban dan lainnya sebagai keharaman, maka hal tersebut tidak mendasar. Di samping itu, jika keduanya hanya bergantung pada wahyu, maka adanya utusan agama merupakan bencana bagi alam. Dengan kata lain, sesungguhnya sebelum adanya agama dan diutusnya para Nabi –‘alaihim al-salam, manusia dalam keadaan mutlak merdeka, karena tidak ada aturan yang mengikat. Mereka bisa berbuat sekehendak hati dan melarang perbuatan yang mereka benci. Merekapun tidak memikirkan imbalan dan hukuman sebagai dampak perbuatan mereka. Kemudian utusan datang dengan membawa syari’at yang membatasi itu semua sehingga terbelah menjadi dua; halal dan haram, iman dan kufur, serta surga dan neraka. Maka sekali lagi, adanya tasyri’ ini dapat memberikan madlarat bagi mereka. Padahal ini tidak benar, karena adanya utusan merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata paham yang dipegang Maturidiyyah ini terbelah menjadi dua sebagaimana dalam memahami masalah ketuhanan di atas. Namun, redaksi yang digunakan Wahbah al-Zuhayli bukan Maturidiyyah Samarkand dan Bukhara, melainkan mutaqaddimu al-Maturidiyyah dan muta’akhiruhum[1]. Perbedaan yang ada adalah seputar belum atau sudah datangnya syara’ atas manusia dan konsekwensinya.

Mutaqaddimun menyatakan akal terkadang dapat meraba dan menentukan hukum-hukum Tuhan, seperti wajibnya iman dan haramnya kufur. Hal ini terlepas dari belum atau sudah sampainya wahyu. Bahkan, anak kecil yang telah berakal juga dapat melakukannya. Oleh karenanya, tanggung jawab seorang hamba tergantung kemampuan akalnya. Siapa saja yang tidak beriman, maka akan dihukum jika Tuhan tidak mengampuninya. Abu Hanifah berkata: “Tidak ada alasan bagi seseorang dalam ketidaktahuannya mengenai sang Pencipta, karena pada dasarnya akal dapat meraba bukti-bukti yang telah ada.” Maksudnya adalah setelah adanya perenungan yang mendalam. Karena akal sebagai pengganti dakwah Rasul dalam memperingatkan hati manusia. Dan lamanya perenungan ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya karena kemampuan akal yang berbeda-beda pula. Kalangan ini sejalan dengan Mu’tazilah mengenai penilaian terhadap segala hal yang tampak baik ataupun buruk. Akan tetapi, mereka tidak menyatakan manusia wajib diberi balasan sesuai perbuatannya sebelum adanya wahyu sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Karena bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat dituntut mengenai hal itu. Kewenangan dan kekuasaan Tuhan sangat mutlak.

Sedangkan muta’akhirun mengatakan baik dan buruk dapat dijangkau akal, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Akan tetapi yang membedakannya dengan Mu’tazilah adalah baik dan buruk tidak sampai menyebabkan tuntutan hukum terhadap manusia. Karena sumber hukum hanyalah Tuhan. Segala sesuatu yang tidak dihukumi tidak ada hukum atasnya. Oleh karenanya, mereka mensyaratkan adanya dakwah dalam penentuan tuntutan terhadap manusia. Hal ini yang tidak dianut oleh Mu’tazilah ataupun mutaqaddimun[2].

Kalangan lainnya yang berpedoman terhadap potensi akal Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam membahas masalah baik dan buruk. Menurut mereka, tidak perlu bantuan wahyu dalam mengetahui baik dan buruk. Wahyu dengan muatan syara’ berfungsi sebagai penguat hukum yang telah diidentifikasi akal. Di samping itu, wahyu berfungsi untuk mengetahui tata cara beribadah kepada Tuhan, kadar imbalan dan hukuman Tuhan, juga untuk mengingatkan manusia jika mereka lalai.

Menurut pandangan Mu’tazilah, kemampuan akal untuk mengidentifikasi baik dan buruk terbagi menjadi tiga. Pertama, kemampuan tersebut bersifat pasti dan spontan, seperti baiknya jujur yang bermanfaat dan buruknya dusta yang membawa madlarat. Kedua, akal dapat memilah baik dan buruk setelah adanya proses penalaran panjang. Hal ini seperti adanya kerugian dalam kejujuran bagi sebagian orang, ataupun adanya manfaat dalam kedustaan bagi sebagian lainnya. Proses penalaran panjang dalam kedua masalah ini menunjukkan kepada manusia bahwa terkadang sesuatu yang pada dasarnya baik dapat berubah menjadi buruk sesuai dengan madlarat yang menimpa pelakunya. Ataupun sebaliknya, suatu yang dianggap buruk pada dasarnya dapat menjadi baik sesuai dengan mashlahah yang diterima pelakunya.

Ketiga, akal dapat mengidentifikasi baik dan buruk dengan optimal setelah adanya wahyu[1]. Jika saja wahyu tidak ada, maka akal tidak dapat mengidentifikasinya dengan jelas. Hal ini menurut mereka, wahyu hanya sebagai penguat dan penjelas terhadap sesuatu yang diterima akal dengan samar. Satu contoh, akal menyatakan shalat itu baik. Namun, akal tidak dapat menentukan tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat yang disebut baik itu. Sehingga datangnya wahyu hanya membantu apa yang telah dinyatakan akal sebelumnya, yaitu shalat itu baik. Adapun tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat akal tidak dapat menjangkaunya.

Mengenai esensi baik dan buruk, dalam tubuh Mu’tazilah terdapat perselisihan. Mutaqaddimu al-mu’tazilah beranggapan baik dan buruk dalam suatu perbuatan merupakan hakikat perbuatan itu sendiri. Timbulnya label baik dan buruk tidak disebabkan faktor eksternal sebagai akibatnya. Sehingga dengan pendapat ini, terjadi peluang kemungkinan bahwa meskipun akibat perbuatan itu buruk, tetap diyakini baik. Sedangkan menurut al-Jubba’iyyah[2], baik dan buruk itu ditentukan oleh sifat yang tidak berlawanan yang terdapat di dalamnya. Bahkan, sebagian kalangan Mu’tazilah lainnya beranggapan baik dan buruk bukanlah sifat ataupun hakikat perbuatan itu, melainkan dari faktor eksternal yang berbeda-beda menurut mashlahah yang diterima pelakunya[3]. Pendapat yang terakhir ini memungkinkan mengakomodir perbuatan yang pada dasarnya buruk dapat masuk ke dalamnya. Misalnya pencurian yang berdalih hasilnya diserahkan kepada fakir miskin. Perbuatan ini pada dasarnya buruk, namun jika dilihat akibatnya dapat dikategorikan baik.

Dan pada akhirnya, Mu’tazilah mengerucutkan perselisihan di atas. Bahwa akal dapat menjangkau perbuatan baik dan buruk. Sehingga mereka meyakini menjaga mashlahah dan mafsadah itu wajib tanpa memerlukan bantuan wahyu pada awalnya. Adanya syara’ hanya untuk menguatkan sesuatu yang telah diketahui akal, baik pengetahuan tersebut didapat dengan spontanitas maupun melalui penalaran yang panjang. Adapun selain keduanya, peran wahyu sebagai wadah syara’ adalah membantu menampakkan makna yang samar yang terdapat dalam akal manusia.

Pemahaman yang terdapat pada Mu’tazilah selanjutnya mengenai kemampuan akal dalam mengidentifikasi hukum-hukum syara’. Apakah cukup akal yang dapat menentukannya? Dengan demikian, sekali lagi tidak menunggu adanya wahyu.

Mereka menjelaskan sesungguhnya sebelum adanya wahyu, manusia dituntut melakukan sesuatu yang menurut akalnya baik. Begitu juga meninggalkan sesuatu yang dinyatakan buruk oleh akal. Oleh sebab itu, Tuhan harus memberikan balasan yang sesuai dengan perbuatan tersebut. Jika melakukan keburukan, Tuhan harus memberikan siksa, yaitu neraka. Dan jika melakukan kebaikan, Tuhan pun harus memberikan imbalan di surga. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan Mu’tazilah seakan-akan membatasi wilayah kewenangan dan kekuasaan Tuhan. Karena menurut mereka Tuhan tidak adil jika tidak memberi balasan yang setimpal. Jika Tuhan tidak adil, maka sama saja Tuhan telah bersikap dhalim terhadap makhluk-Nya. Dan hal itu tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu Tuhan pasti membalas perbuatan itu dengan setimpal.

Dari berbagai paparan silang pendapat yang diajukan beberapa kalangan teologi di atas, mengerucut sekelumit kesimpulan. Kalangan Asya’irah mempunyai pemahaman baik dan buruk ditentukan oleh syara’ dengan perantara wahyu sehingga jika belum ada utusan penerima wahyu tersebut, maka tidak ada taklif bagi manusia. Dengan demikian, tidak ada balasan bagi perbuatan mereka di akhirat. Hal ini diserahkan Tuhan dalam menghukuminya.

Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat sebaliknya. Bahwa baik dan buruk hanya bertumpu pada akal, tidak memerlukan wahyu untuk menilainya. Potensi akal menurut mereka sangat besar. Meskipun mereka sebenarnya juga memerlukan wahyu dalam beberapa hal karena akal tidak mampu mengembangkannya, namun mereka berdalih akallah pemeran utama di dalamnya. Sebab sebelum adanya wahyu, akal telah dapat menemukannya secara samar. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus terdapat konsekwensinya di akhirat. Dengan demikian, Tuhan pasti memberi siksaan dan imbalan bagi pelaku perbuatan sesuai dengan kriteria yang digariskan akal.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari paparan Matuidiyyah terpecah menjadi dua. Mutaqaddimun menyatakan baik dan buruk terjangkau oleh akal tanpa mengandalkan wahyu. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dalam pendapat ini adalah Tuhan tidak dapat dituntut sebagaimana paparan Mu’tazilah. Artinya, memang benar ketentuannya seperti itu, namun tidaklah suatu keharusan atas Tuhan memberikan konsekwensi yang setimpal. Tuhan boleh saja menyiksa orang yang berbuat baik. Begitu juga sebaliknya. Mereka masih membatasi pendapat dengan kewenangan dan kekuasaan Tuhan.

Sedangkan menurut muta’akhirun secara sekilas menyatakan hal yang sama dengan para pendahulunya, yaitu baik dan buruk sesuai dengan kriteria akal. Namun, otoritas akal hnya sampai di sini. Untuk menghukumi sesuatu, akal tidak mungkin mampu. Sehingga baik dan buruk tidak dapat menentukan tuntutan hukum atas manusia. Oleh karena itu, adanya wahyu merupakan syarat mutlak bagi adanya tuntutan hukum. Dengan demikian, pendapat ini lebih dekat dengan pendapat Asya’irah.

Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, Asya’irah tetap berkeyakinan terhadap adanya wahyu untuk mengetahuinya. Karena mereka beranggapan Tuhan adalah sumber dari segala sumber hukum. Dan informasi Tuhan tersebut dapat terjangkau oleh manusia hanya melalui wahyu. Begitu juga pendapat yang diutarakan Matuidiyyah Bukhara. Adapun menurut Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand, secara akal manusia wajib mengetahui Tuhan. Alasannya, hanya dengan logika saja sudah menjadi keharusan atas manusia sebagai makhluk untuk mengetahui Tuhan sebagai sang Pencipta. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Nb : footnote dimulai dari bawah (af1 mash dalam taha belajar)

[1] Ibid., hal. 122.
[2] Kalangan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Abdu al-Wahab al-Jubba’i (w. 205 H). Beliau merupakan guru Abu al-Hasan al-Asy’ari sebelum meninggalkan Mu’tazilah.
[3] Ibid.

[1] Wahbah al-Zuhayli, op.cit., hal. 123.
[2] Ibid., hal. 124.

[1] Al-Maturidi dalam Harun Nasution, op.cit., hal. 91.
[2] Abu Manshur al-Maturidi merupakan salah satu pengikut Abu Hanifah (w. 150 H), sehingga paham-paham dalam teologi-nya banyak persamaan dengannya.

[1] Al-Ghazali dan al-Amidi dalam Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus; Dar al-Fikr, 2006, vol. I, hal. 120.
[2] Ibid.

[1] Pengikut Abu Manshur Muhammad ibn Mhammad ibn Mahmud al-Maturidi (w. 333 H).
[2] Abu ‘Uzbah dalam ibid.,hal. 89.
[3] Kalangan ini dipelopori oleh Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi (w. 394 H).
[4] Pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari, (w. 324 H).

[1] Pengikut Washil ibn ‘Atho’ (w. 131 H) dan ‘Amr ibn ‘Ubaid (w. 144H).
[2] Abu al-Huzail (w. 235 H) dalam ibid., hal. 82.
[3] Abdul Jabbar dalam Aminullah el-Hadi, Ibn Rusyd Membela Tuhan, Surabaya; LPAM, 2004, hal. 87.
[4] Al-Murdar dalam Harun Nasotion, op.cit., hal. 83.

[1] Al-Syarif Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Sankapura; Al-Haramain, 2000, hal. 148.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta; UI Press, 2008, hal. 81.
Sumber

03.02 | Posted in | Read More »

Pemikiran Mu'tazilah

PEMIKIRAN MU’TAZILAH
Disusun oleh :
Irma Qurotu A’yun
BAB I
PENDAHULUAN
 I.            Latar Belakang
Makalah yang saya presentasikan sekarang ini, hanyalah usaha kecil dan ala kadarnya untuk mencoba memaparkan kembali satu episode sejarah kelam umat islam. Dan usaha kecil ini pun di benturkan dengan berbagai keterbatasan, sehingga banyak mengalami kesulitan. Dan kesulitan ini pun saya rasakan ketika ingin menganalisa sekaligus mengkritisi fenomena yang ada sebagai imbas dari “sejarah” tersebut.
Pemikiran mu’tazilah adalah tema yang di angkat kali ini, bagaimana peranan ideologi rasinalitas ini dalam pentas sejarah perjalanan umat islam, sejauh mana peranan ideologi dalam menghantarkan umat islam ke dalam sejarah yang kelam, apa bahaya yang di usungnya, dan bagaimana peranan kita sebagai umat islam yang berkomitmen secara totalitas terhadap petunjuk Allah yang terlembagagakan dalam Al Qur’an dan As Sunnah menyikapi, mengkritik, sekaligus menggugat ideologi rasional tersebut.
Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan untuk memaparkan semuanya, namun mudah-mudahan sedikit memberi pijakan kepada umat islam untuk terus menerus memperbaiki sejarah dengan mengambil “Ibrah” dari “Kecelakaan Sejarah” yang terjadi dalam rentetan sejarah umat islam.

    II.            Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian mu’tazilah?
b.      Apa saja pokok-pokok ajaran mu’tazilah?
c.       Siapa tokoh-tokoh aliran mu’tazilah?

 III.            Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
a.       Untuk memnuhi tugas pada mata kuliah teologi islam.
b.      Untuk mengetahui pengertian mu’tazilah dan akar produk pemikiran mu’tazilah.

 IV.            Manfaat Penulisan
a.       Agar pembaca mengetahui tentang seluk beluk pemikiran mu’tazilah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Golongan atau Kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).[1]
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.[2] Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[3] Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.[4]

B.     Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada masa  akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka  berpegang pada kekuatan rasionalitas dalam memahami aqidah Islam (al-Aq‎‎îdah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah. Filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filasafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nashrani.[5]
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadariyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.

C.    Pokok- pokok Ajaran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok yaitu :[6]
Ø  Tauhid (keesaan Allah SWT)
·         Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT, menurutnya apa yang di katakan sifat adalah tak lain dari dzat-Nya sendiri ;
·         Al Qur’an menurutnya adalah makhluk ;
·         Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia, karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata.[7]


Ø  Al’adl (keadilan Allah SWT)
Semua orang percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah memperdalam arti keadilan serta menentukan batas-batasnya,sehingga menimbulkan beberapa persoalan. Dasar keadilan yang di yakini oleh mereka ialah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai berikut : “ Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak ada campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat.[8]

Ø  Al wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah SWT wajib memnuhi dan tidak boleh mengingkari janji-Nya. Menurut mereka, hamba Tuhan yang berbuat baik pasti mendapat pahala dan masuk surga, sebab Tuhan telah berjanji akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat baik. Tuhan tidak akan mengingkari janji-Nya. Tuhan juga harus menyiksa orang-orang yang tidak taat dan berbuat dosa sebab Tuhan telah mengancam mereka dengan neraka. Ajaran ini sebenarnya sangat terkait dengan ajaran keadilan Tuhan karena salah satu bentuk keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya adalah mebalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas kejahatan dengan siksa.[9]

Ø  Al manzilatu bainal manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Ajaran inilah yang menjadi faktor utama munculnya kaum mu’tazilah. Washil bin Atha’ tidak setuju dengan pendapat gurunya, Hasan al Bashri, tentang persoalan dosa besar. Kemudian, dia diusir dari majlis gurunya. Dari peristiwa ini, muncul ajaran al manzila bainal manzilatain (posisi diantara dua posisi). Washil bin Atha’ menjelaskan arti ajaran ini bahwa orang islam yang berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mu’min, tapi ia menempati posisi diantara kafir dan mu’min. dalam ajaran mereka disebut “Fasiq”. Dan orang yang demikian ini, bila meninggal dunia sebelum ia bertaubat, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya, tapi tidak sama dengan neraka yang di tempati orang kafir.inilah yang dimaksud dengan al manzila bainal manzilatain (posisi diantara dua posisi), yaitu posisi diantara surga dan neraka.[10]

Ø  Amar ma’ruf dan nahi munkar
Ajaran mu’tazilah mengenal tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan yang tercela, ini lebih banyak berkaitan dengan fiqih.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus di pegang oleh setia  orang yang mengaku bahwa dirinya adalah mu’tazilah, dan ini sudah menjadi kesepakatan mereka.[11]


D.    Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah
v   Wasil Ibn ‘Atha (80 – 131 H)
   Wasil adalah pemuka dan pembina aliran Mu’tazilah, ia adalah pendiri dan letak dasar ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan dalam lima prinsip ajaran dasar (ushul al-khamsah). Pendapat-pendapatnya kemudian dimatangkan oleh tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka datang kemudian seperti Abu al-Hudzail, Al-Nazhzham, Al-Jubbai dan sebagainya. Washil adalah salah seorang murid Hasan Al Bashri. Dia pendiri utama madzhab mu’tazilah. Dia juga pernah belajar ilmu fisika dan hadist pada Hasan Al Bashri. Dia hidup pada masa pemerintahan khalifah Hisyam ibnu Abdul Malik. Para pengikutnya terdapat di Afrika Utara pada masa raja Idris ibnu Badullah Al Husaini yang mengadakan pemberontakan  terhadap pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Dia lahir pada masa-masa fitnah yang di timbulkan oleh ajaran Al Azariqoh dari kaum khawarij tentang status pelaku dosa besar. Pada saat itu umat islam terpecah menjadi beberapa kelompok:
·         Al Azariqoh (khawarij) yang mngatakan bahwa pelaku dosa besar adalah musyrik. Dan mereka mengatakan bahwa anak orang-orang musyrik adalah musyrik sehingga halal untuk di bunuh.
·         As Sufriyah (khawarij) yang sependapat dengan az zariqoh tentang pelaku dosa besar. Mereka hanya berselisih tentang anak orang-orang musyrik.
·         An Najdad (khawarij) yang mengatakan bahwa jika dosa yang dilaksanakan adalah termasuk dosa yang telah disepakati umat islam, maka dia kafir. Namun, jika dosa itu termasuk dosa yang di perselisihkan, maka diserahkan kepada ijtihat ahli fiqih.
·         Al Ibadhiyah (khawarij) yang mengatakan bahwa status pelaku dosa besar hanyalah orang yang mengkufuri nikmat tuhan, bukan kafir musyrik.
·         Ulama’ Salaf yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah mu’min yang munafik. Menurut mereka, orang munafik lebih buruk dari pada orang kafir yang menampakkan kekafirannya.
Washil Ibnu Atha’ dengan tegas menyatakan lima pendapat diatas dan dia pula yang membawa ajaran al manzilah bainal manzilatain. Inilah yang menyebabkan mereka disebut kaum mu’tazilah, yaitu golongan yang menjauhkan diri dari mayoritas pendapat umat Islam.[12]

v   Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135 – 226 H)
Abu al-Hudzail termasuk tokoh Mu’tazilah di Basrah. Ia banyak mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh oleh buku-buku tersebut, dan karena dia maka Mu’tazilah mengalami perkembangan yang pesat.[13]

v   Ibrahim ib Sayyar al-Nazhzham (wafat 231 H)
Ia adalah murid Abu al-Nadzail al-‘Allaf, orang terkemuka lancar beribicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari Ilsam. Setelah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof pada masanya.

v   Al-Jahizh ‘Amr Ibn Bashr (Wafat 256 H)
Ia dikenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat terutama filsafat alam.[14]

v   Al-Jubbai Abu Ali Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab (wafat tahun 295H)
Al-Jubbai adalah salah seorang pemimpin Mu’tazilah yang sama kemsyhurannya dengan wasil, Abu Al-Hudzail dan al-Nazhzham. Al jubba’I adalah guru imam asy’ari, tokoh utama aliran ahlus sunnah.[15]
v   Al-Qodhi abdul jabbar (wafat 1024 M)
Abdul jabbar hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah, ia diangkat menjadi kepala hakim oleh ibnu ‘abad. Diantara karangannya ialah beberapa jilid tentang pokok-pokok ajaran mu’tazilah.[16]
Demikianlah beberapa sekte dalam mu’tazilah. Disamping beberapa sekte diatas masih banyak lagi sekte yang belum disebutkan


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
v  Mu’tazilah adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
v  Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain.
v  Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat.
v  Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
B.     Saran
*      Harapan saya kepada para pembaca agar mengamalkan setiap ilmu yang diperoleh agar ilmu tersebut tidak sia-sia.
*      Harapan saya kepada para pembaca khusus bagi dosen pembimbing agar studi kiranya memperbaiki setiap kesalahan / kesimpulan baik disengaja maupun tidak disengaja. Dalam uraian isi makalah ini khususnya, dan para mahasiswa umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

§  WAMY, Al-Mausû’ah al-Muyyasarah fî ‘l Adyân wa’l Madzâhib wa’l Ahjâb al- Mu’ashir, WAMY Riyadh, Cet III, 1418H, Jilid 1, hal 55.
§  Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
§  Abu Fatiah, Al-Adnani, Agenda Al- Muzzai, Solo : Pustaka Amanah, 1999

Abdurrazak, Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang,
§  Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Jakarta : Pustaka Setia, 2005
§  Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT, saya ucapkan atas selesainya makalah ilmu teologi islam program study ilmu kalam. Tanpa ridho dan kasih sayang  serta petunjuk dari-Nya, mustahil makalah ini dapat terselesaikan.
            Makalah ini di susun agar nantinya bermanfaat bagi manusia, program study ilmu kalam pada khususnya untuk lebih mudah dalam memahami mata kuliah ilmu teologi islam dan bagi pembaca pada umumnya.
            Kemudian saya tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada dosen pembimbing “Bpk. Wahidul Anam, M. Ag.” Yang memberikan tugas mata kuliah teologi islam sehingga menambah wawasan saya tentang teologi islam.
            Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini terdapat kekurangan, saya mohon untuk kritik dan saran yang membangun, terima kasih.

Kediri, 14 Maret 2010
Penulis,

DAFTAR ISI


v  BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
v  BAB II PEMBAHASAN
A.    Pngertian Mu’tazilah
B.     Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah
C.     Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
v  BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
v  DAFTAR PUSTAKA





[1] WAMY, Al-Mausû’ah al-Muyyasarah fî ‘l Adyân wa’l Madzâhib wa’l Ahjâb al- Mu’ashir, WAMY Riyadh.
[3] ibid
[4] Op. Cit, WAMY
[5] Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
[7] ibid
[8] ibid
[10] Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
[11] ibid
[12] WAMY, Al-Mausû’ah al-Muyyasarah fî ‘l Adyân wa’l Madzâhib wa’l Ahjâb al- Mu’ashir, WAMY Riyadh.
[13] ibid
[14] Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Jakarta : Pustaka Setia, 2005
[15] Abu Fatiah, Al-Adnani, Agenda Al- Muzzai, Solo : Pustaka Amanah, 1999

Abdurrazak, Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang,

Sumber

Muhammad Syafii Tampubolon | Buat Lencana Anda

02.44 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added